why can’t this intangible torturous mind just vanish? sungguh pikiran yang menyiksa
Myself , ‘designed to suffer’

To live is to suffer,to survive is to find some meaning in the suffering
~friedrich nietzsche
Hidup berasa determinis...
Kapan punya chance untuk mecahin penyakit yang tidak terdiagnosa ini ? Mengapa harus terus terpendam dan terjebak dalam arus ketidaktahuan dan rasa penasaran yang menahun ? Mengapa ia dapet stigma negatif dan generalisir yang enggak2 jika dikonsultasikan ke yang ahli / professional?
Self-diagnose memang buruk, tapi jika orang terdekat(dibaca family) anda melarang untuk mencari professional help seperti yang gw alami sekarang,karena merekalah terlalu banyak kekangan,terlalu negative thinking,toxic nya sudah parah banget dan hobi konflik, terlalu banyak remeh temeh dan kurang informasi karena ‘mereka’ yang belum diekspos langsung ke penyakit ini, dan ini memicu lebih banyak aksi klandestin di keseharian , itu udah ngelewatin ambang batas. Gw males banget deal dengan orang konservatif. Sangat sulit menemui orang sekitar yang sekiranya bisa diajak bertukar pikiran untuk hal yang saya alami. Orang orang virtual dan wadah komunitas di internet hanya memberikan pelukan/virtual hug , they can be my companion , itu bisa menjadi tempat untuk melontarkan keluh-kesah tetapi tetap terasa jauh jaraknya dan tidak ada yang benar2 dekat untuk menemani. Terkadang lelah untuk point-out uneg2 yang ga digubris. That’s why we want a freedom and control over our own mind and will. You’re trying to break the chain (referring to this evil mind). Jadi bagi yang udh dapet bantuan, then you’re safe and lucky. May be someday i could conduct this action independently ( tentunya diam2 tanpa pengawasan). Sorry for being anti-rules all the time.
Mengenai kedekatan dengan tuhan..? Well gw lelah dengan dogma agama ditengah2 kejadian ini,ini mah urusan relasi sang makhluk hidup dengan yang transenden dan di keep di area privat saja. hal ini muncul bukan semata mata karena masalah spritualitas saja. Kalo dibilang deket atau enggak dengan Tuhan, yes we are literally very close to God every single day sampe2 setiap hari kepikiran pengen langsung menghilang aja dari dunia ini dan menuju rumahNya yang kekal dan sekejap kembali ke konsep ketiadaan di dunia fisik .
Vanish without meeting your death ? “Berhasil Tak Dipuji, Gagal Dicaci Maki. Hilang Tak Dicari, Mati Tak Diakui” >> i like this principle , tapi ingin melakukannya independen dengan maksud tersendiri tanpa harus terekrut dan ter-afiliasi di suatu lembaga negara yang memakai prinsip ini. We want to go as far as we can and do our own favor, discovering a better place and do something different and extraordinary. Start out a new life and get settled into a new place. There are things need to be cutted out from my life. Assume your past life no longer exist. You are your own life architecture. These need good intentions and readiness. But death seems to be pleasant solution, cause without functioning / active brain there is no torturous feeling :). This ‘natural supercomputer made by omnipotent’ named brain could be source of the problem.
Balik lagi ke hal agamis diatas, Boleh2 saja ngasih saran positif berbau agama tapi rasanya kurang enak kalo belum memahamiNya(terutama diri pengidap maupun yang pemberi saran) lebih dalam, ibarat hanya mengerti nyebut namaNya ,ingin dimengerti terus dari sudut pandang tuhan dan menjalankan ibadah doang tapi implementasi ajaran, pencarian esensi dan pemaknaan dibalik itu semua 0 besar dan kita ngamau ngertiin Tuhan kita sendiri. Ibadah bukan sekedar formalitas. Kayaknya memahami agama juga harus pakai pandangan filosofis juga jadi ga cuma dogma oriented yang dimana akhir2 ini saya menerapkan hal ini.
Worst case mengenai tingkat kerelegiusan bagi yang udah parah ngalamin ini adalah bisa sampai ke fase ‘questioning your own God and Religion’, ‘Trying to define your God with another perspective and understanding the so called ‘God’ based on logical and rational thinking ‘ walau kepercayaan ga bisa dirasionalkan terus menerus , ‘Dimanakah tuhan di tengah kejadian ini?’, ‘Apa sih maksud ‘the grand design’ yang dia buat diperlakukan seperti ini dan kenapa kita tidak bisa mengelak?’, dst. Ini sih sebenarnya lebih ke bentuk antitesis dari kealiman dan religius. Seperti berusaha mencari kebenaran pada agama sendiri tetapi kebenaran subyektif lah yang didapat karena menurut point of view sendiri sedangkan pencarian kebenaran obyektif nya yang menimbulkan rasa penasaran terus dan indra serta akal pada tubuh punya limitasi dalam memahami dan mengejar ini lebih dalam ( di area metafisik ). Fase ini cukup bertahan lama sampai waktu dimana umatNya terketuk lagi hatinya tiba yang dimana biasa sudah dapat jalan keluar perlahan dari masalah ini. Susah sekali keluar dari fase ini.
Bisa diliat fenomena diatas , saran dogma yang dikasih dan fase diatas ibarat 2 kutub magnet yaitu positif dan negatif tapi disandingkan yang sejenis maka akan saling tolak-menolak.
Sebuah hal yang tidak mengenakkan dan cukup bikin menderita untuk dialami setiap hari. Terkadang hal ini semaunya menjangkiti pikiran dan gak bisa diajak kompromi,sulit diatur,sulit dilupakan dan butuh waktu untuk menjinakkannya. Apakah itu?
Saya gak tau apa kata kata yang tepat , disini saya nyoba bersemantik dahulu aja. Saya nyebutnya ‘unbalanced mind’ aja deh. Kalo kata2 ‘depressed’ harus dapat istilah persamaan lain dan lama2 kayak ada pergeseran makna karena di jaman now cuma jadi ajang untuk ‘showing a fake,over whining dan ajang make fun’ di internet jadi kurang enak kalo istilah ini sering di bring-up , lalu bagaimana bagi yang aslinya bener2 mengidap dan jujur ?.
Disisi lain, hal ini sulit untuk diketahui asal usulnya / sulit untuk di-trace darimana karena ia berkembang begitu aja, pengalaman yang dialamin setiap orang pun bahkan bisa berbeda beda padahal gak ada yang ngatur prefrensinya .. Well is that about how mind and nature works?, ia tidak ada masa kadaluarsanya, cenderung awet lalu membekas, ia tidak terikat oleh ruang dan waktu, tidak ada sekat yang membatasi hal bernama ‘pikiran’ apalagi kalau sudah berefek pada mental, tetapi pikiran yang tidak mengenakkan ini seolah olah ia punya ruang tersendiri di kepala, rasanya ia bebas berkelana tanpa adanya obstacle di setiap neuron2 yang saling menembak , dan sulit dirasakan dan sukar dilacak jejak awal eksistensinya. (Lanjut ke page 2)
One thought on “Biggest enemy in my head”